Menghadapi Kritikan di Era Keterbukaan

kritik

Menghadapi Kritikan di Era Keterbukaan

Oleh: Chotibul Umam

Menghadapi Kritik – Pesatnya perkembangan teknologi informasi membuka ruang diskusi tanpa batas. Setiap orang dibelahan dunia manapun bisa dengan mudah mengomentari dan ikut campur terhadap persolan pribadi maupun persoalan publik yang muncul. Setiap orang bebas mengutarakan pendapat, opini, pandangan, bahkan kritik dan hinaan sesuka hati kepada siapa saja yang ia jumpai di media sosial, entah kenal atau tidak. Hanya saja undang-undang ITE yang berlaku di Indonesia menjadi rool way dan batasan dalam beropini dan berpendapat. Siapa yang melanggar uu ini bisa dijerat hukum sesuai pasal yang disangkakan.

Selain uu ITE terdapat juga kontroversi mengenai RKUHP yang salah satu pasalnya mengatur tentang penghinaan terhadap presiden. Yakni pasal tentang pemidanaan bagi penghina presiden dan wakil priseden yang tertuang dalam pasal 218 ayat satu. Dalam pasal itu disebutkan setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Menyikapi Era Keterbukaan

Berbicara mengenai kritik maka layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, ia merupkan pembangun bagi suatu kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Di sisi lain, ia dianggap sebagai penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah atau hoaks apabila kritik disampaikan tidak berdasarkan data, tidak mengindahkan norma dan etika berkritik saran yang berlaku. Sementara dunia saat ini telah berada dalam era keterbukaan tanpa batas, walaupun kemudian atas nama moral diberlakukan pemaksaan terhadap orang-orang agar taat batasan yang diundangkan, dimana salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap presiden di atas. Lalu bagaimana sebaiknya menyikapi era keterbukaan ini?

Ada pendapat yang menarik yang disampaikan oleh Irmanputra Siddin dalam acara tolkshow di salah satu televsi swasta yang membahas masalah kontroversi RKUHP. Salah satu pasal yang menjadi perdebatan adalah mengenai pasal penghinaan presiden. Sebagai bahan pengetahuan, bahwa pasal penghinaan presiden telah dihapus oleh MK. Sementara dalam RKUHP bukan lagi pasal penghinaan namun diganti dengan pasal penyerangan terhadap martabat presiden. Hal ini tetap menimbulkan perdebatan karena pada prinsipnya pasal ini hampir sama dengan pasal penghinaan presiden dan bisa disalah gunakan oleh penguasa untuk membungkam orang-orang diluar pemerintahan atau lawan politiknya.

Dalam pendapatnya, Irmanputra Siddin mengatakan bahwa sebaiknya pasal ini ditarik atau dikeluarkan dari RKUHP. Karena menurutnya tidak hancur republik ini, tidak hancur negara ini, tidak runtuh kekuasaan ini ketika pasal tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden ini dikeluarkan.

Pendapat demikian sebenarnya telah diaminkan oleh presiden yang mengatakan bahwa beliau sudah biasa diserang dan presiden setuju jika pasal ini dihilangkan.

Sementara Menteri Hukum dan Ham berpendapat bahwa akan menjadi bangsa yang tidak beradab apabila membiarkan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden diserang. Ia menambahkan kebebasan yang sebebas-bebasnya bukanlah kebebasan tetapi anarki. Artinya mengkritik terhadap jabatan publik yang diemban seseorang, dalam hal ini presiden atau wakil presiden adalah hal yang dilindungi UU dan itu dibenarkan. Tetapi menyerang terhadap personal, terhadap harkat dan martabat presiden secara personal seperti mengatakan bahwa presiden adalah anak haram adalah perkataan yang tidak beradab. Inilah yang tidak dibenarkan berdasarkan RKUHP.

Akan tetapi sekali lagi, di era keterbukaan ini semua bisa terjadi dan muncul ke permukaan tanpa batas dan tanpa bisa di filter. Fitnah, hoaks, hinaan, cercaan kasar dsb bisa dengan mudah dijumpai di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karenanya, tujuan Negara Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni bangsa yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia menjadi titik tolak dalam menghadapi era keterbukaan ini. Irmanputra Siddin melanjutkan tujuan Negara ini hendaknya menjadi prioritas agar Negara tidak terlalu sibuk mengatur tatanan social. Jika kehidupan bangsa telah cerdas maka kasus-kasus yang muncul di era keterbukaan ini, seperti fitnah, hoaks dan ujaran kebencian tidak akan banyak dijumpai.

Kenyataannya gempuran teknologi melaju lebih cepat dibanding proses pencerdasan bangsa terutama dalam menghadapi era keterbukaan ini. Akibatnya masyarakat kita terlihat gagap dan gamang serta mudah terprovokasi oleh informasi-informasi yang beredar. Banyak yang kemudian terjebak dan menjadi korban kemajuan iptek hingga menjadi tersangka pelanggaran UU ITE.

Dalam menghadapi era keterbukaan yang terlanjur mengepung semua lini kehidupan, setidaknya diperlukan sikap untuk menghadapi kritik dengan bijak, yaitu dengan menerima dan membiasakan diri terhadap kritik itu sendiri. Ketika seseorang berani untuk tampil di depan umum, terlebih bagi para pejabat publik hendaknya mempersiapkan sikap mental untuk menerima kritik dalam bentuk apapun. Karena memang menerima kritik itu tidak mudah, apalagi kritik yang disampaikan di hadapan publik. Sikap ini diperlukan agar seseorang tidak terbawa emosi yang mengakibatkan mental dalam dirinya goyah, sehingga berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil apabila ia seorang pejabat publik.

Inilah setidaknya yang telah dicontohkan oleh presiden Jokowi yang mengatakan bahwa beliau telah terbiasa dikritik dan tidak masalah jika pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dalam RKUHP dihilangkan. Kesiapan presiden dalam menerima kritik ditunjukan pula dengan keteguhannya dalam mempertahankan satu kebijakan walau banyak dikritik sana-sini.

Berani Mengkritik, juga harus siap dikritik

Sikap menerima dan membiasakan diri terhadap kritik ini tidak hanya diperlukan oleh para tokoh publik yang berpeluang mendapat kritik, tetapi juga oleh orang-orang yang suka mengkritik. Ia harus siap apabila kritiknya tidak didengarkan dan bahkan balik dikritik. 

Titik balik dari proses hukum apabila seseorang terbukti melanggar UU ITE yang ada saat ini adalah saat si pelaku telah meminta maaf dan bernjanji untuk tidak mengulanginya lagi serta orang yang menjadi korban telah memaafkannya. Jika keadaan ini tercapai seyogyanya proses hukum tidak perlu dilanjutkan. Andai katapun tetap berjalan harus dipastikan bahwa semata-mata untuk proses pembelajaran bersama, yakni sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pada akhirnya apabila masyarakat terbiasa dengan kritik, mau menerima serta membiasakan diri dengan berbagai kritik yang datang, akan tercipta proses demokrasi dengan baik dan santun, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan bersama untuk kemajuan bangsa dan Negara.

Hal yang tidak boleh dilupakan sebagai bangsa yang besar dan beradab adalah etika dalam berkritik saran. Norma kepantasan dan kepatutan dalam memilih kata dan cara dalam menyampaikan kritik perlu diperhatikan karena ada hak orang lain dibalik hak kebabasan yang kita miliki. 

Sumber Ilustrasi: https://pixabay.com/id/vectors/amplifikasi-demo-demonstrasi-keras-1294300/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Articles

Back to top button